Rinai hujan pagi ini
mengingatkanku padamu. Masih ingatkah kau tujuh belas tahun yang lalu
kita bersama di atas sepeda tua itu? Mendung pagi itu memayungi
keberangkatan kita. Tak berapa lama kita beranjak gerimispun turun.
Kita memutuskan untuk berteduh di bawah pohon beringin. Kau berikan aku
sepucuk sapu tangan berwarna cokelat untuk menyeka air hujan yang jatuh
di wajahku. Tak berapa lama hujanpun reda. Kita melanjutkan perjalanan
kembali. Namun tak berapa lama kita berjalan, kau mengajakku untuk
berhenti sejenak. Kau keluarkan sebuah plastic kresek dari saku celanamu
dan kau pakaikan di kepalaku
“Supaya kepalamu tidak kena hujan” begitu katamu
“Ah…tidak perlu”aku menolak.
Namun
kau tetap memaksaku mengenakannya. Taukah kau betapa risih dan malunya
aku memakai topi plastic kresek pemberianmu itu? Walaupun pada akhirnya
aku tau plastik kresek itu berguna bagiku.
Masih ingatkah kau
ketika kita menonton film di sebuah bioskop kecil di kampung kita?
Ketika masuk ke dalam kulihat begitu gelap. Aku tak tau kemana aku harus
melangkah. Saat itu kau gandeng tanganku memasuki bioskop itu. Begitu
takjubnya aku ketika itu melihat isi bioskop itu. Tak tergambarkan
bagaimana bahagianya hatiku ketika itu bisa nonton di bioskop. Namun ada
kebahagiaan yang tak kalah dari itu. Aku bahagia bisa pergi bersamamu.
Paling tidak, aku bisa ambil bagian bercerita tentang pengalaman yang
bisa membuat aku bangga di depan teman-temanku.
Kau memang tak
begitu banyak bicara. Namun kau bisa menunjukkan cinta dari sisi yang
berbeda. Tak perlu banyak cerita kau sudah membuktikan semuanya. Seperti
malam itu, kau mengajakku jalan-jalan keliling kota dengan sepeda tua
itu. Setelah puas keliling kota, kita mampir di sebuah toko sepatu. Kau
memintaku untuk memilih sepatu mana yang kuinginkan. Aku sempat tak
percaya. Bagaimana tidak, baru kemarin rasanya aku bercerita tentang
sepatuku yang sudah mulai kesempitan. Dan sekarang kau sudah
membelikannya untukku. Tapi saat itu aku masih terlau kecil untuk bisa
mengucapkan terima kasih. Aku tak pandai mengucapkannya. Yang kulakukan
saat itu adalah memilih sepatu sambil membayangkan besok pagi aku akan
bercerita pada teman-temanku. Lagi-lagi cerita tentang orang-orang
kebanggaan kami. Dan aku tentu saja akan bicara tentang malam ini dan
sejuta kebanggaanku padamu.
Pagi itu, aku dan teman-temanku
bercerita tentang orang-orang kebanggaan kami. Aku sengaja bercerita
setelah mereka semua puas bercerita. Tapi keinginan besar untuk
bercerita itu mendadak lenyap karena aku merasa kehilangan rasa percaya
diriku ketika mendengar pengalaman mereka. Pengalaman keliling kota
dengan sepeda motor. Sementara kita, hanya dengan sepeda ontel yang
sudah tua. Dengan diam-diam aku menjauh. Ingin rasanya aku bisa seperti
mereka. Jalan-jalan keliling kota dengan sepeda motor bersamamu. Tapi
sudahlah. Kucoba untuk mengubur semua keinginan itu. Karena aku tau
semua itu tak mungkin bisa terwujud. Semenjak itu bayang-bayang di
kepalaku selalu saja dipenuhi keinginan untuk bersamamu dengan sepeda
motor.
Keinginan itu semakin besar setelah aku melihat
teman-temanku diantar dan dijemput ayah mereka dengan menggunakan sepeda
motor. Tahukah kau betapa inginnya aku seperti itu? Ingin rasanya aku
menyampaikan rasa ini padamu. Tapi aku tak sanggup. Aku takut kau akan
marah. Selain itu aku juga tau itu semua akan sia-sia. Walaupun aku
belum dewasa tapi aku tau kesanggupanmu. Rasanya tak mungkin kau bisa
memenuhi keinginanku. Aku tau berapa gaji yang kau terima setiap minggu
dari hasil pekerjaanmu. Tak seperti teman-temanku yang semuanya berasal
dari keluarga yag kaya. Tapi rasa ego dan keinginanku yang kuat
mengalahkan semua itu. Hingga pada suatu sore aku memberanikan diri
untuk menyampaikan ini padamu.
“Ayah, kenapa kita tidak beli sepeda motor?”tanyaku dengan lugunya
“Untuk apa?”kau balik bertanya
“Teman-temanku diantar jemput dengan sepeda motor. Mereka jalan-jalan
pakai sepeda motor. Sementara kita masih juga pake sepeda butut”jawabku
Saat
itu kau tak lagi bicara. Heningpun menghinggapi kita. Tak ada lagi
suara. Kau diam. Dan aku dapat menerjemahkan arti diammu itu. Persis
seperti apa yang kubayangkan sebelumnya. Tak ada jawaban ya atau tidak.
Aku beranjak pergi. Kuintip kau dari balik tirai. Tak ada ekspresi. Tak
berapa lama kau melanjutkan membaca koran yang kau beli kemarin pagi.
Keinginanku
untuk dapat diantar ke sekolah dengan sepeda motor semakin besar.
Bahkan sekarang keinginan itu semakin menjadi dengan munculnya rasa malu
dalam diriku setiap kali aku diantar dengan sepeda ontel tuamu. Hingga
pada suatu pagi aku memilih untuk berjalan kaki atau naik angkot ke
sekolah
“Kau malu?”tanyamu ketika itu.
“Tidak, aku hanya ingin datang ke sekolah lebih awal dari biasanya”alasanku
“Kalau begitu ayah juga bisa mengantarmu ke sekolah lebih awal”
Aku
terdiam dan tak mampu menjawab. Jelas bukan ini yang kuinginkan. Bagiku
lebih baik aku jalan kaki ke sekolah daripada harus pergi ke sekolah
dengan sepeda ontel tua itu
“Kau malu kan?”tanyamu lagi seolah mengerti dengan apa yang kurasakan
“Kalau kau memang malu, ayah akan menurunkanmu tidak di depan gerbang sekolahmu”lanjutmu sambil mengeluarkan sepeda.
Ketika
di goncengan, fikiranku tak menentu. Rasa malu itu semakin besar. Aku
juga tak tau kenapa. Padahal sebelumnya aku sangat senang sekali bisa
kau antar ke sekolah. Bahkan aku tidak malu kalau kau mengajakku
keliling kota dengan sepeda itu. Tapi kini… Aku berharap tidak ada teman
yang melihatku ketika itu. Tapi harapanku sia-sia. Ketika kau
menurunkanku beberapa meter dari gerbong sekolahku, teman cewek yang
sering jadi idola di kelasku lewat sambil melambaikan tangannya dari
atas sepeda motor. Walaupun masih kelas empat SD, tapi aku merasa sangat
malu. Bahkan setelah itu bergantian teman-temanku yang lain yang lewat.
Aku hanya tertunduk lesu memasuki ruang kelas. Tak seperti biasa aku
hanya duduk di bangku dan tidak ikut ngobrol dengan teman-teman yang
lain
“Sepeda ayahmu bagus juga yan”sapa seorang teman.
Aku
tau ini bukan kalimat sindiran. Ini murni dari rasa ketertarikannya
pada sepeda ayah. Tak berapa lama teman-teman yang lain mengerumuniku.
Biasa, bercerita seputar pengalaman jalan-jalan mereka. Aku hanya bisa
diam. Ketika tak ada lagi yang bicara, aku angkat suara
“Apes hari ini…”kataku
“Kenapa?”tanya teman yang lain
“Mau berangkat ke sekolah, sepeda motor ayah bocor”aku berbohong untuk menutupi rasa maluku.
“Trus kamu tadi naik apa?”
“Naik sepeda butut”kataku kembali berbohong.
Untung ketika itu lonceng sekolah berbunyi. Sehingga kebohonganku tidak semakin besar.
Hari
demi hari, aku semakin malas saja untuk pergi ke sekolah. Hingga pada
suatu hari sebuah sepeda motor kulihat terparkir di depan rumah
“Punya siapa mak”tanyaku
“Punya paklek Ilyas. Paklek merantau, jadi sepeda motornya dititip disini
Aku
begitu sangat gembiranya. Kubayangkan ketika itu juga kau meggoncengku
ke sekolah dengan sepeda motor itu. Saat itu akan kuceritakan pada
teman-teman. Tak seperti biasa, kau hari ini pulang lebih cepat dari
hari biasanya. Ternyata kau ingin mengajakku jalan-jalan keliling kota.
Alangkah senangnya aku. Sekali lagi kau tak banyak bicara. Tapi kau
mampu menunjukkan cinta dari sisi yang berbeda.
Tak tergambar
betapa senangnya aku ketika itu. Pergi bersamamu dengan sepeda motor.
Walaupun bukan punya kita tapi siapa yang tau. Saat itu aku berharap ada
teman sekolahku yang melihatku. Namun harapanku sia-sia. Hingga sampai
kami kembali ke rumah, tak ada seorang teman yang melihatku. Tapi tak
mengapa, yang penting impianku dalam beberapa hari ini terwujud sudah.
Beberapa
tahun setelah itu, kau mampu membeli sepeda motor sendiri. Aku tau
sebenarnya bukan untukmu tapi untuk kesenangan anak-anakmu. Karena aku
juga tau kau lebih suka menggunakan sepeda ontel tuamu ketika berangkat
kerja. Tapi seiring bertambahnya usiaku dan disaat orang-orang
mengatakan aku sudah remaja, aku tak seperti dulu lagi. Aku bukan lagi
putra kecilmu yang dulu sering kau manja. Aku sudah berubah menjadi
seorang remaja yang sedang mencari jati dirinya. Walau kadang pencarian
jati diri itu sering mengorbankan perasaanmu. Sudah tidak ada lagi
kebanggan bisa pergi bersamamu. Aku sudah tak ingin lagi kau antar ke
sekolah. Tidak ada lagi cerita tentang orang-orang kebanggaan. Yang
jelas semuanya seolah berakhir.
Pada suatu malam di bulan
Ramadhan. Kau memintaku mengantarmu ke mesjid untuk melaksanakan soat
taraweh. Tapi aku menolak dengan mengatakan aku tidak enak badan.
“Aku tidak enak badan, kalau aku tabrakan gimana?”ucapku dengan nada sedikit keras
Kau
marah mendengar itu. Tapi marahmu kau salurkan lewat diammu. Setelah
itu kaupun pergi. Berjalan kaki ke mesjid sendiri. Setelah kepergianmu
aku sangat merasa bersalah. Tapi aku tak tau harus berbuat apa. Ingin
meminta maafpun aku tak tau bagaimana. Ketika sahur kau masih diam. Tak
ada sepatah katapun yang kau ucapkan di depanku. Aku semakin tak tau
harus bagaimana.
Keesokan harinya aku dapat kejutan yang tak
terduga-duga. Kau membelikanku sebuah baju koko berwarna biru muda.
Setelah itu kau kembali seperti biasa. Tak terlihat lagi amarah dari
raut wajahmu. Lagi, kau menunjukkan cinta dari sisi yang berbeda.
Beberapa
tahun setelah itu, kau sudah semakin menua. Wajahmu sudah keriput.
Tubuhmu semakin kurus karena penyakit yang kau derita. Saat itu aku
sudah tidak menemanimu lagi. Aku sudah semakin sibuk dengan duniaku
sendiri. Perasaan berdosa senantiasa menghantuiku. Aku seperti anak yang
tak pernah berbakti padamu. Tak pernah merawatmu apalagi membuatmu
bangga. Mungkin hanya sekali. Ya, sekali mungkin aku pernah membuatmu
bangga. Saat aku diwisuda. Saat itu kau tak datang karena kondisimu yang
tidak memungkinkan. Selesai wisuda aku menelponmu. Kurasakan ketika itu
kau begitu senangnya. Seperti biasa, tak banyak yang kau ucapkan. Hanya
satu kalimat “terima kasih”
Semakin lama penyakit yang kau derita
semakin parah. Beberapa kali aku pulang karena kau masuk rumah sakit.
Hingga di hari kesepuluh bulan Ramadhan 1431 H, kabar itu menghampiriku.
Kau pergi untuk selamanya. Air mataku mengucur deras. Teringat kembali
masa kecil itu. Bercerita tentang orang-orang kebanggaan. Dan kau adalah
orang kebanggan yang pertama. Bus yang membawaku pulang ke kampung
terasa begitu sangat lambat. Pukul tiga sore aku sampai di rumah.
Kulihat orang kebanggaanku itu terbujur kaku. Kubuka penutup wajahya.
Wajahnya masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Air mataku jatuh.
Kau telah pergi sekarang. Tapi kau tetap menjadi orang kebanggan. Kau
bukan siapa-siapa seperti layaknya ayah teman-temanku ketika aku kecil.
Tapi bagiku kau ayah yang luar biasa.
Medan, 17 Juli 2011
Untuk ayahanda yang telah tiada setahun lalu
Maafkan aku tak bersamamu di saat terakhirmu