Wanita itu masih berdiri di situ.
Diantara ilalang dan debur ombak. Namun kesunyian masih bergelayut di hatinya.
Ah, ingin dibuangnya jauh-jauh rasa itu. Rasa yang selalu membuatnya menjadi
manusia yang tak merdeka.
“Sudahlah Ning. Jalani saja semuanya”
“Jalani? Ibu bilang jalani. Sudah cukup
bu. Sudah cukup mbak Narsih jadi korban keegoisan ibu dan bapak. Menikah dengan
orang pilihan Bapak yang pada akhirnya meninggalkannya dalam keadaan hamil.
Lalu mbak Ningsih yang harus rela melihat suaminya tidur dengan wanita lain.
Aku tidak akan mengikuti jejak mereka bu”
“Tapi kamu harus menikah Naning”ucap Ibu
dingin
“Dengan lelaki yang soleh bu”
“Soleh saja tak cukup Naning”
“Paling tidak lelaki itu tidak
menelantarkanku atau meninggalkanku”
“Kamu memang keras kepala. Kamu pasti akan
menyesal”ucap ibu sambil berlalu meninggalkan Naning. Pelan air mata Naning
jatuh. Hanya keberanian yang membuatnya mampu menentang semua ini. Keberanian
yang muncul karena tekad yang menggebu-gebu. Ya, semenjak kenal dengan
kakak-kakak yang mengajarkan Islam kepadanya, ia begitu ingin sekali untuk
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
“Kamu harus punya keinginan untuk kuliah
Naning. Wanita juga harus pintar”nasihat mbak Dini ketika mereka mengaji
Saat itu Naning hanya bisa diam.
Ia tak ingin menjawab dan menyemangati diri sendiri. Ia takut kecewa. Begitu
kuatnya peran bapak dan ibu dalam kehidupannya dan kakak-kakaknya. Kuliah? Ehm,
bisa menyelesaikan SMA saja sudah bagus. Tidak seperti dua mbaknya yang harus
putus sekolah demi untuk menikah dengan lelaki “terbaik” pilihan bapak. Tapi
walaupun begitu, jauh di dasar hati Naning, ia punya keinginan untuk kuliah dan
mendapatkan pasangan hidup yang soleh.
Lama Naning terdiam. Ia tak tahu
harus berbuat apa. Hanya semangat yang ia punya saat ini. Apakah itu cukup?
Apakah semangat itu cukup untuk melunakkan hati bapak yang keras?
***
Kembali
di tempat yang sama. Di kamar kecil ini, Naning hanya bisa mendengarkan
percakapan Bapak dengan Pak Tejo, calon mertuanya. Calon mertua? Cuih, tak sudi
rasanya punya mertua seperti itu. Mertua yang setiap hari menghabiskan uangnya
di meja judi, mabuk-mabukan dan main perempuan. Dan pastinya buah tak jatuh
jauh dari pohonnya. Bram, anak yang akan dijodohkan dengannya juga punya
perangai yang sama. Bahkan lebih lagi. Tiga kebiasaan buruk bapaknya ia tiru
dan menambahkan satu kebiasaan lagi, tawuran. Rasanya sudah bosan masyarakat
kampung ini menyaksikan Bram yang ikut dalam tawuran pemuda antar kampung.
Tak
berapa lama, pintu kamarnya terbuka. Ibu sudah berdiri di depan pintu.
“Kamu harus bertemu dengan calon suamimu
Naning” ucap ibu dengan lembut. Sejatinya ibu memang lembut. Tapi baktinya pada
suami membuat dia kadang harus keras untuk memenuhi semua keinginan suami.
Mendengar kata calon suami rasanya Naning ingin marah.
Tapi ditahannya. Percuma marah di saat-saat begini. Tidak ada gunanya. Malah
akan menimbulkan keribuatan. Toh, masih calon.
Dan Naning akan berusaha sekuat mungkin untuk mendapatkan apa yang ia
cita-citakan. Kuliah dan menjadi pendamping bagi lelaki soleh. Diambilnya
jilbab yang tergantung di sudut kamarnya.
“Eh...bagaimana kamu ini? Kamu akan
bertemu dengan calon suami dan calon mertuamu. Dandan yang cantik dong”kata ibu
sedikit marah
“Cantik bagaimana lagi toh bu. Bajunya juga bagus” jawab Naning
sambil mematut diri di cermin
“Ini...ini dibuka aja kerudung kamu ini”
ucap ibu sambil berusaha menarik jilbab Naning
“tidak bu”jawab Naning tegas
“Memakai jilbab ini kewajiban setiap
muslimah buk. Ibu tidak boleh melarang aku memakai ini. Apalagi mereka yang di
luar sana bukan muhrimku bu”lanjutnya
“Ngeyel kamu. Ya sudah cepetan. Kalau
bapakmu marah ibu tidak tanggung jawab”jawab ibu dan langsung pergi
meninggalkan Naning
Di
ruang tamu sudah menunggu bapak, ibu, Bram dan kedua orang tuanya. Begitu
melihat Naning, senyum Bram mengembang. Ditatapnya Naning lekat-lekat.
“cantik pak..cantik”kata Bram. Spontan Ibu
Bram langsung mencubit paha anaknya.
Naning
muak melihat tingkah Bram yang salah tingkah di depannya. Ingin muntah saja ia
rasanya. Tapi Naning berusaha untuk menahan emosi. Seperti ketika Bram dengan
sangat tidak sopannya menarik tangan Naning untuk bersalaman. Spontan saja
Naning menarik tangannya. Masih dengan tetap tersenyum. Senyum yang
dibuat-buat.
Waktu
berjalan lambat sekali saat itu. Ingin rasanya Naning lari dan pergi jauh.
Meninggalkan tatapan nakal Bram yang tak berhenti menatapnya dengan tatapan
yang tak dapat ia mengerti. Dan akhirnya waktu itupun tiba. Waktu yang bisa
membuat Naning bernafas lega. Namun semua itu tak lama. Dadanya terasa sempit
setelah mengetahui kalau Bram dan keluarganya akan datang melamar minggu depan.
Oh Tuhan...apakah memang tak Kau berikan Naning berfikir dengan waktu yang
lebih panjang lagi?
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar