Kamis, 08 Mei 2014

Kabut Hati



Wanita itu masih berdiri di situ. Diantara ilalang dan debur ombak. Namun kesunyian masih bergelayut di hatinya. Ah, ingin dibuangnya jauh-jauh rasa itu. Rasa yang selalu membuatnya menjadi manusia yang tak merdeka.
     “Sudahlah Ning. Jalani saja semuanya”
     “Jalani? Ibu bilang jalani. Sudah cukup bu. Sudah cukup mbak Narsih jadi korban keegoisan ibu dan bapak. Menikah dengan orang pilihan Bapak yang pada akhirnya meninggalkannya dalam keadaan hamil. Lalu mbak Ningsih yang harus rela melihat suaminya tidur dengan wanita lain. Aku tidak akan mengikuti jejak mereka bu”
     “Tapi kamu harus menikah Naning”ucap Ibu dingin
     “Dengan lelaki yang soleh bu”
     “Soleh saja tak cukup Naning”
     “Paling tidak lelaki itu tidak menelantarkanku atau meninggalkanku”
     “Kamu memang keras kepala. Kamu pasti akan menyesal”ucap ibu sambil berlalu meninggalkan Naning. Pelan air mata Naning jatuh. Hanya keberanian yang membuatnya mampu menentang semua ini. Keberanian yang muncul karena tekad yang menggebu-gebu. Ya, semenjak kenal dengan kakak-kakak yang mengajarkan Islam kepadanya, ia begitu ingin sekali untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
     “Kamu harus punya keinginan untuk kuliah Naning. Wanita juga harus pintar”nasihat mbak Dini ketika mereka mengaji
Saat itu Naning hanya bisa diam. Ia tak ingin menjawab dan menyemangati diri sendiri. Ia takut kecewa. Begitu kuatnya peran bapak dan ibu dalam kehidupannya dan kakak-kakaknya. Kuliah? Ehm, bisa menyelesaikan SMA saja sudah bagus. Tidak seperti dua mbaknya yang harus putus sekolah demi untuk menikah dengan lelaki “terbaik” pilihan bapak. Tapi walaupun begitu, jauh di dasar hati Naning, ia punya keinginan untuk kuliah dan mendapatkan pasangan hidup yang soleh.
Lama Naning terdiam. Ia tak tahu harus berbuat apa. Hanya semangat yang ia punya saat ini. Apakah itu cukup? Apakah semangat itu cukup untuk melunakkan hati bapak yang keras?
***
                Kembali di tempat yang sama. Di kamar kecil ini, Naning hanya bisa mendengarkan percakapan Bapak dengan Pak Tejo, calon mertuanya. Calon mertua? Cuih, tak sudi rasanya punya mertua seperti itu. Mertua yang setiap hari menghabiskan uangnya di meja judi, mabuk-mabukan dan main perempuan. Dan pastinya buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Bram, anak yang akan dijodohkan dengannya juga punya perangai yang sama. Bahkan lebih lagi. Tiga kebiasaan buruk bapaknya ia tiru dan menambahkan satu kebiasaan lagi, tawuran. Rasanya sudah bosan masyarakat kampung ini menyaksikan Bram yang ikut dalam tawuran pemuda antar kampung.
                Tak berapa lama, pintu kamarnya terbuka. Ibu sudah berdiri di depan pintu.
     “Kamu harus bertemu dengan calon suamimu Naning” ucap ibu dengan lembut. Sejatinya ibu memang lembut. Tapi baktinya pada suami membuat dia kadang harus keras untuk memenuhi semua keinginan suami.
Mendengar kata calon suami rasanya Naning ingin marah. Tapi ditahannya. Percuma marah di saat-saat begini. Tidak ada gunanya. Malah akan menimbulkan keribuatan. Toh, masih calon. Dan Naning akan berusaha sekuat mungkin untuk mendapatkan apa yang ia cita-citakan. Kuliah dan menjadi pendamping bagi lelaki soleh. Diambilnya jilbab yang tergantung di sudut kamarnya.
     “Eh...bagaimana kamu ini? Kamu akan bertemu dengan calon suami dan calon mertuamu. Dandan yang cantik dong”kata ibu sedikit marah
     “Cantik bagaimana lagi toh bu. Bajunya juga bagus” jawab Naning sambil mematut diri di cermin
     “Ini...ini dibuka aja kerudung kamu ini” ucap ibu sambil berusaha menarik jilbab Naning
     “tidak bu”jawab Naning tegas
     “Memakai jilbab ini kewajiban setiap muslimah buk. Ibu tidak boleh melarang aku memakai ini. Apalagi mereka yang di luar sana bukan muhrimku bu”lanjutnya
     “Ngeyel kamu. Ya sudah cepetan. Kalau bapakmu marah ibu tidak tanggung jawab”jawab ibu dan langsung pergi meninggalkan Naning
                Di ruang tamu sudah menunggu bapak, ibu, Bram dan kedua orang tuanya. Begitu melihat Naning, senyum Bram mengembang. Ditatapnya Naning lekat-lekat.
     “cantik pak..cantik”kata Bram. Spontan Ibu Bram langsung mencubit paha anaknya.
                Naning muak melihat tingkah Bram yang salah tingkah di depannya. Ingin muntah saja ia rasanya. Tapi Naning berusaha untuk menahan emosi. Seperti ketika Bram dengan sangat tidak sopannya menarik tangan Naning untuk bersalaman. Spontan saja Naning menarik tangannya. Masih dengan tetap tersenyum. Senyum yang dibuat-buat.
                Waktu berjalan lambat sekali saat itu. Ingin rasanya Naning lari dan pergi jauh. Meninggalkan tatapan nakal Bram yang tak berhenti menatapnya dengan tatapan yang tak dapat ia mengerti. Dan akhirnya waktu itupun tiba. Waktu yang bisa membuat Naning bernafas lega. Namun semua itu tak lama. Dadanya terasa sempit setelah mengetahui kalau Bram dan keluarganya akan datang melamar minggu depan. Oh Tuhan...apakah memang tak Kau berikan Naning berfikir dengan waktu yang lebih panjang lagi?
Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar